Pengaruh Ajaran Islam Transnasional Terhadap Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)[1]
Suwari[2]
I. Pendahuluan
Islam transnasional merupakan istilah yang relatif baru dalam konteks wacana pemikiran Islam di Indonesia. Istilah ini muncul seiring dengan bergulirnya reformasi politik di Indonesia tahun 1998, yang ditandai dengan munculnya kekerasan, pengkafiran sesama Islam, pemaksaan keyakinan, perilaku agama dan ideologi seperti kasus Ahmadiyah, perampasan masjid NU dan sarana ekonomi Muhamadiyah, lewat berbagai cara licik, bahkan diwujudkan dengan peledakan bom yang sasarannya pada agama nasrani, perwakilan kedutaan dan aset asing, khususnya Amerika. Dibeberapa tempat seperti ambon dan poso terjadi perlawanan dari kaum nasrani, tidak sedikit korban dan kerugian material dari kedua bela pihak. Kejadian ini pasti mengejutkan sebagian besar umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya. Setelah dilakukan investigasi oleh beberapa instansi, semua pelaku banyak berasal dari pemikiran dan organisasi diluar Indonesia. Barangkali seminar ini berorentasi memberikan respon dan pemecahan terhadap masalah diatas, adapun saya hanya ingin membahas sejauh mana ajaran Islam transnasional mempengaruhi keutuhan bangsa Indonesia dan bagaimana seharusnya respon umat Islam agar keutuhan, kerukunan dan kehidupan demokrasi di Indonesia tetap terpelihara dengan baik. Mengingat waktunya sangat terbatas, kami hanya menyampaikan prinsip-prinsipnya saja, selebihnya mungkin dapat didalami pada sesion dialog.
II. Pengertian Islam Transnasional
A.Menurut ahli.
Istilah ideologi transnasional ini dipopulerkan pertama kali oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Muzadi, sejak pertengahan 2007 silam. Istilah itu merujuk pada ideologi keagamaan lintas negara yang sengaja diimpor dari luar dan dikembangkan di Indonesia
Masdar Hilmy dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa istilah “ Islam transnasional “ adalah sebuah gerakan yang bukan asli Indonesia, keberadaan organisasi politik ini tidak lahir dari pergumulan identitas ke Indonesia-an yang otentik melainkan dipindahkan, dibawa atau diimpor dari negara lain yang cenderung tidak mau meng-Indonesia.
Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa Islam transnasional adalah organisasi politik yang lahir sebagai pemecahan dari persoalan persoalan politik yang muncul di daerah timur tengah sedangkan Islam kebangsaan atau ke Indonesia-an adalah organisasi sosial keagamaan atau organisasi politik yang lahir dari pergumulan dan pemecahan masalah-masalah yang terkait dengan Indonesia. jadi tidak ada hubungannya dengan penggunaan Alquran dan sunnah yang berasal dari arab saudi. Islam Indonesia menggunakan Alquran dan sunnah untuk pemecahan masalah di Indonesia sedangkan Islam transnasional menggunakan Alquran dan sunnah untuk pemecahan masalah di timur tengah. masalah itu akan timbul ketika pemecahan masalah timur tengah dipaksakan sebagai pemecahan masalah di Indonesia. (dibahas di tema sendiri )
B. Ajaran dan organisasi
Sebagaimana disampaikan pada pada bab pendahuluan sebagian besar orang orang yang menjalankan agama secara radikal dan memaksakan kehendak berasal dari pemikiran dan organisasi luar Indonesia, khususnya timur tengah, disini saya mencoba memahami dasar berfikir dari Perilaku keagamaan mereka agar dapat dijadikan pijakan dalam pemecahan masalah, ada 2 pendekatan yaitu sejarah dan fungsi syare’at Islam dalam tatanan sosial, diperkiraan 2 hal itu yang membentuk radikalisme Islam transnasional.
Dalam catatan sejarah Islam, telah diketahui bersama sejak umat Islam mengekspansi Eropa dan pada masa tertentu, Eropa tidak hanya melepaskan diri dari kekuasaan Islam bahkan banyak menjajah negara-negara Islam ditimur tengah. Pada masa berikutnya berbalik umat Islam yang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Eropa. Peperangan Islam dan negara-negara Eropa berlangsung sangat lama, bisa sampai ribuan tahun, yang terakhir kehancuran Turki Usmani, perang Afghanistan, umat Islam melawan Uni Sovyet dan Amerika, perang Libya, Irak, Iran dan Al qaidah dibawah pimpinan usama bin laden, semuanya melawan Amerika. dalam stuasi seperti itu secara alamiah, untuk tujuan kemenangan peperangan, umat Islam menggelorakan semangat internalnya diantaranya menanamkan kebencian terhadap agama, budaya, ilmu pengetahuan dan Perilaku kehidupan orang Eropa dan Amerika. Ayat-ayat perang yang terdapat dalam Alquran dan sunnah rasul, tentang keburukan dan kerusakan Perilaku orang orang kafir sering dijadikan legitimasi. Ayat-ayat tentang jihad dan pahala orang yang mati sahid menjadi perbincangan sehari hari, hal ini untuk melibatkan semua umat Islam agar mau bertempur dan memiliki militansi tinggi serta menciptakan tentara yang tidak pernah takut mati. Sanksi kekafiran diberikan kepada mereka yang enggan berperang melawan Eropa. dalam waktu cukup lama tanpa disadari mereka memandang ajaran Islam adalah ajaran melawan kekafiran dengan segala jalan dan segala cara. Hal itu pasti akan menjadi masalah ketika pemikiran dan kondisi psikologis umat Islam timur tengah ditransfer ke negara-negara mayoritas Islam diluar timur tengah, yang hidup damai, tidak ada masalah dengan orang orang yang berbeda agama, semua diberikan kebebasan menjalankan agamanya dan berkompetisi secara fair dalam berbagai bidang baik ekonomi, pendidikan, hukum dan politik. Negara yang hidup damai dan bisa saling menghargai akan menjadi medan kebencian, caci maki, fitnah, mengambil hartanya bahkan membunuhnya dengan bom-bom seperti dimedan perang terhadap rakyat sipil, rakyat kecil yang tidak mengetahui apa-apa tentang itu. Seharusnya mereka dapat membedakan, memisahkan dan memilah kondisi sosial politik umat Islam dalam suatu negara, tidak menempat kan semua negara dalam kondisi perang. Karena Alquran dan sunnah juga mengaturnya secara detail tentang perbedaan stuasi dan kondisi dalam masyarakat. Umat Islam yang bijak mampu menempatkan diri pada varian stuasi itu dengan benar. Dari uraian singkat tentang pendekatan sejarah dapat disimpulkan mengapa Islam transnasional Perilaku agamanya cenderung radikal dan mudah mengkafirkan sesamanya karena kehidupan mereka sejak kecil sampai buyut dibesarkan dalam suasana peperangan.
Pemahaman tentang keharusan menjadikan syareat Islam dalam tatanan sosial juga sering memicu radikalisme dan kekerasan terhadap keyakinan dan Perilaku umat selainnya. Secara sederhana mereka memandang bahwa syareat Islam yang terdapat dalam Alquran dan sunnah berasal dari Allah yaitu zat yang maha besar, pencipta alam semesta dan zat yang bebas dari kesalahan dan kemubadhiran. Mereka yang lebih mementingkan hawa nafsu, ilmu pengetahuan dan akalnya menolak syareat Islam, berarti tidak mempercayai kebesaran Allah. Mereka ditempatkan sebagai orang-orang kafir dan syirik karena memandang akal manusia lebih tinggi dari Allah, sumber kerusakan dimuka bumi, sehingga harta dan jiwanya menjadi halal. Syareat Islam ditempatkan sebagai tolok ukur suatu ormas, parpol atau negara sebagai umat Islam atau kafir, akibatnya sangat luar biasa menyedihkan. Ketika pancasila menjadi dasar negara lewat dialog ilmiah dan ada 40 % perwakilan umat Islam di BPUPKI, PPKI dan sidang konstituante selama 4 tahun dan ketika azas tunggal pancasila diberlakukan bagi ormas dan parpol. Radikalisme sejak tahun 1948 yang diwakili hisbullah dibawah pimpinan kartosuwiryo, melepaskan diri dari kesatuan republik Indonesia yang dipandang negara kafir. Mereka melakukan perlawanan militer terhadap pemerintah yang ada sampai akhirnya dikalahkan, perlawanan itu terus dilakukan dengan cara-cara kekerasan dan sembunyi sembunyi, diwakili oleh NII dan perwakilan jamaah Islamiyah di Indonesia, ribuan umat Islam meninggal dunia. Realitas ini menjadikan partai partai Islam terpuruk, pada tahun 1955, dengan diwakili oleh masyumi Umat Islam mampu memperoleh suara 40 % lebih. Namun pada pemilu kemarin dengan diwakili 4 partai hanya memperoleh suara 22 %.
Kalau menurut saya, kesalahan pemahaman diatas karena mereka memandang bahwa ajaran Allah hanya terdapat pada Alquran dan sunnah saja, sedangkan ilmu pengetahuan, produk-produk akal dan tekhnologi bukan merupakan ajaran Allah, terbukti mereka masih membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum. Sebenarnya dalam Alquran Allah banyak memerintahkan kepada umatnya agar berpijak kepada, saat tertentu Allah menggunakan istilah wahyu, saat lain menggunakan quran, pada masa tertentu menggunakan syareat, terkadang juga menggunakan hukum sunatullah, rasulullah, sunnah nabi nabi dahulu, ilmu pengetahuan, akal dan hukum keseimbangan (dalil dalilnya tidak dirinci disini). Dari sini membuktikan bahwa pengetahuan, nilai, ajaran dan tekhnologi yang tidak tertulis secara teks dalam al quran dan sunnah juga merupakan ajaran Allah, seperti produk produk tekhnologi, komputer, satelit, nilai-nilai profesionalisme, pengembangan pendidikan dan pola pembelajaran serta pengembangan genetik pada tumbuhan dan hewan dls. bisa jadi teks-teks Alquran dan sunnah yang sifatnya kondisional sekarang sudah bukan lagi syareat yang menjadi pijakan universal. Misalkan dalam peperangan saat ini kita tidak perlu lagi menggunakan kuda dan pedang, meskipun ada teks intruksi dalam Alquran dan sunnah, karena sifatnya kondisional. Dari uraian, hampir bisa dipastikan bahwa nilai nilai yang terkandung di dalam pancasila merupakan ajaran Allah yang wajib dijadikan pijakan seperti perintah berpijak pada pengetahuan. Jika pancasila dimasukkan pada bidang pengetahuan adalah pengetahuan dasar tentang nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Realitas bangsa Indonesia yang amburadul banyak kemaksiatan, kemungkaran dan korupsi, tidak ada hubungannya dengan pancasila melainkan pada orang yang menerapkannya tidak konsisten. Seperti umat Islam hari ini juga mengalami kemiskinan, ketertinggalan dalam berbagai hal, khususnya ilmu dan tekhnologi. Kemaksiatan dan korupsi di Indonesia sebagian besar dari umat Islam bahkan banyak dari partai agama dan departemen agama Islam, kerusakan ini bukan karena ajaran Alqurannya melainkan orang-orangnya yang tidak sanggup melaksanakan ajaran Alquran.
Pemahaman tentang khilafah yang memandang keharusan umat Islam diseluruh dunia terikat dalam satu pemerintah dan negara, seperti masa pemerintahan rasulullah saw atau 4 Khulafaur rosyidin, Bani Umayah dan Abbasiyah, juga dapat memicu radikalisasi dan pengkafiran umat selainnya jika mereka menempatkan pemikiran itu sebagai ajaran Islam yang bersifat universal dan kewajiban bagi negara-negara Islam menyatukan diri dalam khilafah.
Sepanjang pengetahuan saya, Allah tidak pernah mengharuskan model atau format organisasi umat Islam apakah berbentuk organisasi bangsa atau organisasi yang bersifat mendunia begitu juga dalam pemerintahannya apakah berpijak pada demokrasi atau kerajaan. Meskipun dalam sejarah model organisasi Islam yang diperagakan umat Islam mulai masa Nabi Muhammad SAW sampai berakhirnya pada masa turki usmani, bersifat mendunia, tapi pertimbangannya bukan nilai universal dari Allah dan rasulnya melainkan tuntutan alamiah dari pengembangan dakwah dan penaklukan daerah daerah oleh kekuasaan Islam saat itu. Seperti negara Eropa, khususnya Inggris yang melakukan penaklukan terhadap daerah daerah di Asia dan Amerika maka secara alamiah daerah taklukan itu menjadi bawahan pemerintahan negara Inggris. Karena biaya dan pengorbanan perang yang dikeluarkan sangat mahal dan ketika daerah Islam sangat luas dan pemerintah pusat tidak dapat menjangkaunya. Pada sisi lain dapat menghambat kemajuan dan ada kebutuhan identitas dari daerah daerah Islam akan rasa kebangsaannya, maka saat itu pembubaran khilafah menjadi suatu yang rasional. Hal ini wajar dalam tradisi hukum Islam, seperti penghapusan kawin mut ah dan penghapusan harta rampasan perang yang dilakukan oleh Umar bin khotob karena ada tuntutan alamiah untuk kemajuan dan moral Islam, meskipun pernah dilakukan oleh pendahulunya.
Berdasarkan hasil penelitian yang di-release dan diedarkan oleh Badan Intelejen Nasional (BIN), ideologi Islam berhaluan neo-fundamentalis kini populer disebut dengan ideologi Islam transnasional tersebut dapat dicirikan sebagai berikut:
1. Bersifat antar-negara (Transnasional)
2. Konsep gerakan tidak lagi bertumpu pada nation-state, melainkan konsep ummah.
3. Didominasi oleh corak pemikiran skripturalis, fundamentalis atau radikal
4. Secara parsial mengadaptasi gagasan dan instrumen modern.
Beberapa ciri ideologi dan organisasi Islam yang masuk dalam kelompok Islam transnasional dan kaki tangan kelompok ini, yang ada di Indonesia menurut Badan Intelejen Indonesia (BIN) adalah:
1.Ikhwanul Muslimin,
2.Hizbut Tahrir,
3.Jihadi,
4.Salafi Dakwah dan Salafi Sururi,
5.Jama’ah Tabligh serta
6.Syi’ah.[3]
III Pengaruh Ajaran Islam Transnasional Terhadap Kehidupan Umat.
a.Konflik Antar Sesama Umat Islam.
Umat, organisasi atau partai Islam yang menerima pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa, dipandang sebagai orang kafir, halal darah dan hartanya, oleh karena itu mereka dengan berbagai cara mengambil harta-harta kekayaan NU dan Muhammadiyah, sebagai mana disampaikan ketua PBNU Masdar F Mas’udi kepada wartawan di kantor wahid institut , jalan taman amir hamzah Jakarta, ditulis ulang di buku Ilusi negara Islam. : kehidupan agama agama di Indonesia semakin tidak aman, sekelompok orang yang mengatas namakan Islam, telah serampangan mengambil alih masjid masjid milik warga NU dengan alasan bid’ah dan aliran sesat. Pengambilalihan yang dimaksud, kata masdar berbentuk pergantian para takmir masjid yang selama ini di isi oleh warga NU, lalu tradisi ritual keagamaan khas NU pun diganti. Ia mengatakan hampir ratusan masjid yang diambil alih. masdar mensinyalir hal itu dilakukan oleh kelompok garis keras, kaum fundamentalis, ia menyerukan kepada warga NU untuk mengambil kembali masjid-masjid tersebut. Menurut Hasyim Muzadi, fenomena diambil alihnya masjid-masjid milik warga NU oleh kelompok Islam ekstrem, menurutnya mereka tidak mampu membuat masjid sendiri dan sering mem bid’ahkan dan mengkafirkan warga NU ( idem ). Pada tanggal 29 april 2007, beliau mendesak pemerintah untuk mencegah masuknya ideologi transnasional ke Indonesia baik dari barat maupun dari timur. Almarhum Pak Ud ( sapaan pengasuh pesantren tebu ireng jawa timur KH. M Yusuf hasyim ) pernah meminta saya untuk memotong masuknya ideologi transnasional karena sama-sama merusak NU dan Indonesia. pada acara yang digelar pimpinan pusat lembaga dakwah NU bekerja sama dengan departemen agama, juga mengatakan “ Kelompok Islam dengan ideologi transnasional pada umumnya menolak toleransi atau sikap saling menghormati, hal itulah yang kemudian bisa memicu terjadinya konflik antar umat beragama “ Muhammadiyah juga tidak lepas dari sasaran Islam transnasional, tidak hanya masjid yang diambil melainkan badan-badan usaha dan kader serta simpatisannya. Artikel Abdul Munir Mulkhan di Suara Muhammadiyah telah mendorong Farid Setiawan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk mendiskusikan lebih luas infiltrasi garis keras ke dalam Muhammadiyah melalui beberapa artikelnya yang dimuat di Suara Muhammadiyah, seperti: Ahmad Dahlan Menangis (tanggapan terhadap tulisan Abdul Munir Mulkhan)[4], Tiga Upaya Mua’allimin dan Mu’allimat.[5] Tulisan artikel Abdul Munir Mulkhan dan Farid Setiawan telah memancing sikap pro-kontra dikalangan pengurus Muhammadiyah, yang akhirnya mendorong salah seorang Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir untuk melakukan klarifikasi melalui buku tipis tentang sikap Muhammadiyah terhadap sinyalemen inflitrasi Islam garis keras. Tiga bulan setelahnya, Pengurus Pusat Muhammadiyah mengeluarkan Surat Keputusan (SKPP)Muhammadiyah Nomor 149/Kep/I.0/B/2006,[6] untuk menyelamatkan Muhammadiyah dari berbagai tindakan yang merugikan Persyarikatan dan membebaskannya dari pengaruh, misi, infiltrasi, dan kepentingan partai politik yang selama ini mengusung misi dakwah atau partai politik bersayap dakwah.[7] Ahmadiyah juga menjadi korban pengkafiran, pembubaran dan penganiayaan sebagaimana yang terjadi di Monas tanggal 1 juni 2008, di Cekesik pendelang Banten pada 6 pebruari tahun 2011, memakan 3 orang korban tewas dan 5 orang luka luka. Jika sesama umat Islam diperlakukan seperti itu apalagi umat lain yang berbeda agama dan keyakinan, mereka tidak segan segan diserang dengan bom-bom pada saat natal dan tahun baru, puncaknya pada tragedi perang umat Islam dan nasrani di poso dan Ambon yang memakan banyak korban, kerugian tidak hanya pada kehilangan jiwa, melainkan tidak berjalannya kegiatan ekonomi, pendidikan dan sosial. dari uraian singkat diatas dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam transnasional hanya menimbulkan perpecahan dikalangan umat Islam, umat selain Islam dan kehidupan bangsa Indonesia pada umumnya.
iv. Pemecahan
1.Pemikiran.
Terus menerus melakukan pembanding pemikiran terhadap ideologi transnasional dengan etika, profesional dan ilmiah, khususnya tentang substansi negara Islam dan keharusan penggunaan syari ah sebagaimana yang ada dalam teks Alquran dan sunnah, untuk melakukan itu tidak mudah, perlu pendalaman ekstra, karena umat Islam pada umumnya termasuk NU dan Muhammadiyah dalam menempatkan fekih syari ah, tidak ada perbedaan dengan Islam transnasional, oleh karena itu mereka mudah masuk di MUI, sebagian besar ulamanya dari NU dan kader kader Muhammadiyah sebagaimana dijelaskan diatas dan keduanya pernah memperjuangkan syariah Islam sebagai dasar negara Indonesia, oleh karena itu mereka tidak pernah menyentuh ideologi diatas, kemarahan NU dan Muhammadiyah terhadap Islam transnasional disamping mengkafirkan juga mengambil aset dan kadernya. Aliran Islam yang menentang ideologi Islam transnasional dengan menolak negara Islam dan syariah ( teks ) adalah Jaringan Islam liberal yang diketuai ulil absar, tapi mereka justru dijadikan bulan-bulanan baik dalam dakwah dan politik, oleh Islam transnasional dengan menggunakan tangan MUI, didalamnya termasuk NU dan Muhammadiyah menyatakan bahwa jaringan Islam liberal termasuk aliran sesat. dalam slogannya secara terbuka menginginkan “ Indonesia tanpa JIL “ dan menjadikan sebagai tuduhan bagi aliran Islam rasional yang menentangnya. Termasuk anak-anak yayasan alkahfi, pernah difitnah sebagai JIL lewat majalah suara Hidayatullah, karena tidak terbukti ia menyediakan hak jawab dan permohonan maaf bahkan ada yang sampai pada gugatan hukum. Jika umat Islam mampu menjelaskan dengan cara rasional, ilmiah yang didasarkan pada Alquran dan sunnah tentang kekeliruan mendudukkan negara Islam dan syariah Islam, insya Allah semua pihak akan menerimanya.
2.Hukum.
Keharusan menggunakan pancasila dalam kehidupan berorganisasi, baik ormas, parpol dan kehidupan berbangsa akan menjadi hambatan Islam transnasional masuk ke Indonesia karena dipandang dapat mengkafirkan. Terbukti pada saat masa orde baru, ketika presiden suharto memberlakukan asas tunggal, hampir tidak muncul atau tidak ada aliran transnasional. Aliran ini muncul sangat kuat justru ketika asas tunggal dihapuskan. Semua ormas boleh menggunakan asas apapun tapi masih ada pengecualian yaitu komunisme. Tapi bagi umat Islam yang memandang nilai nilai pancasila tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah tentu tidak ada masalah. Pada kehidupan sehari hari dalam perjanjian kontrak rumah, perjanjian bisnis, perjanjian pembelian alat alat transportasi tidak menggunakan Alquran dan sunnah, melainkan pada hal hal yang saling menguntungkan dan menjaga hak masing masing. Pengawasan sumber dana dari negara asing ke organisasi organisasi di Indonesia, yang merupakan alat pengembangan Islam transnasional, lebih ditingkatkan, sanksinya diperberat dan moralitas para penegak hukum lebih dikontrol, jalan ini insya Allah dapat menghambat pengembangan nya
3.Mengimbangan kegiatan mereka.
Kekalahan Islam kebangsaan dibandingkan Islam transnasional adalah semangat dan militansinya, terbukti meskipun NU dan Muhammadiyah mengerahkan kemampuannya membendung Islam transnasional, pengikut mereka semakin luas, hal ini dapat dipastikan karena mesin mesin dakwah mereka tidak berjalan, sebab disektor itu tidak ada kompensasi uang, jika dibandingkan dengan kegiatan selainnya seperti mengajar atau bisnis. Dalam majalah kompas pernah diangkat kenapa sekolah SLTA dan perguruan tinggi sebagian besar dipegang oleh Islam transnasional, karena tidak ada aliran Islam kebangsaan, seperti NU dan Muhammadiyah yang masuk disana. Hal ini dapat dipastikan karena tidak ada program organisasi dan tidak ada uangnya. Justru sekarang yang dipikirkan bagaimana mesin mesin dakwah di SLTA, perguruan tinggi, di instansi pemerintah dan perusahaan asing bisa menjadi program prioritas dan ada kompensasi materialnya.
4.Kerja sama aliran Islam kebangsaan dalam membendung gerakan transnasio nal.
Bilamana mereka memiliki semangat membendung ajaran transnasional dengan kerja sama NU dan Muhammadiyah yang kadernya cukup banyak lewat pembagian tugas akan mampu membendung nya. Tapi sekali lagi kerja sama itu sulit dilakukan karena aliran Islam kebangsaan juga memiliki perbedaan spritual, fekih dan budaya yang sulit disatu kan dalam kerja sama. traumatis kerja sama umat Islam dalam masyumi, masih menghantui dan menimbulkan rasa pesimis. Seharusnya untuk kepentingan yang sama dan untuk pemecahan masalah kebangsaan yang efeknya cukup besar, Islam kebangsaan harus bisa bersatu dan bekerja sama.
Demikian semoga bisa menjadi masukan bagi umat Islam kebangsaan dalam membendung Islam transnasional.
[1]Disampaikan dalam seminar Nasional oleh Yayasan al-Kahfi Pusat Mei 2013 di Kampus C Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
[2]Pengurus Yayasan al-Kahfi dan Staff Pengajar STID al-Hadid Yayasan al-Kahfi Surabaya
[3]BIN, Gerakan Islam Transnasional dan Pengaruhnya di Indonesia, tth:BIN, 7-9.
[4]Farid Setiawan, Ahmad Dahlan Menangis (Tanggapan terhadap Tulisan Abdul Munir Mulkhan), Suara Muhammadiyah, 20 Pebruari 2006.
[5]Farid Setiawan, Tiga Upaya Mu’allimin dan Mu’allimat, Suara Muhammadiyah, 3 April 2006.
[6]Antara lain isinya: “…Muhammadiyah pun berhak untuk dihormati oleh siapa pun serta memiliki hak serta keabsahan untuk bebas dari segala campur tangan, pengaruh dan kepentingan pihak manapun yang dapat mengganggu keutuhan serta kelangsungan geraknya (Konsideran poin 4). Segenap anggota Muhammadiyah perlu menyadari, memahami, dan bersikap kritis bahwa seluruh partai politik di negeri ini, termasuk partai yang mengklaim diri atau mengembangkan sayap/kegiatan dakwah seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah benar-benar partai politik. Setiap partai politik berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, dalam menghadapi partai politik manapun kita harus berpijak pada Khittah Muhammadiyah dan harus membebaskan diri dari serta tidak menghimpitkan diri dengan misi, kepentingan, kegiatan, dan tujuan partai politik tersebut (Keputusan poin 3).”
[7]KH. Abdurrahman Wahid, Pengantar Editor, Ilusi Negara Islam, 26.